Selasa, 04 Februari 2014

MENGKRITIK KARYA SASTRA



Oleh    Leila Aboulela
Penerjemah: Elka Ferani


Banyak sekali nilai yang dapat dipetik  dari sebuah novel. Melalui novelnya “MINARET: Panggilan dari Menara” misalnya, berkisah tentang Najwa, seorang mahasiswi muda di Universitas Khartoum, Sudan, yang datang dari keluarga pejabat. Cantik, kebarat-baratan, kaya, punya segalanya, kelihatannya bermasa depan cerah. Namun tidak demikian, sejak tragedi kudeta militer di Sudan memorak-porandakan segala impiannya. Ayahnya ditangkap dan dihukum mati, sementara Najwa beserta ibu dan saudara kembarnya, Omar, akhirnya mengungsi ke luar negeri.
Sebagai pelarian politik di London, hidup Najwa terus menukik ke dalam jurang kehancuran. Keluarganya perlahan mulai terserak berantakan. Dirinya sendiri pun tak terelakkan lagi, semakin terjerumus ke dalam belitan masalah. Omar yang dipenjara, ibunya yang sakit keras, uang yang semakin menipis sehingga dia harus bekerja sebagai pembantu, kekasih yang komunis dan tak kunjung menikahinya.
Jiwanya yang terimpit memberontak, mencari jalan keluar, berusaha bangkit dari keterpurukan, mencari pegangan. Najwa pun mendapatkan hidayah. Dia memutuskan untuk kembali ke jalan-Nya, berjuang untuk membersihkan dan menyucikan diri.
Sebagai pembaca pasti akan mudah menangkap pelajaran berharga yang sangat besar. Bahwa seorang gadis dipengasingan kehilangan dan menemukan kembali keyakinannya. Yang semulanya mengaku muslim tapi shalat hanya untuk mendapatkan nilai ujian yang tinggi dan puasa hanya pada bulan Ramadhan saja. Setiap harinyapun sering pergi kediskotik. Bahkan memiliki seorang kekasih yang komunis yang sangat membenci agamanya padahal itu agamanya sendiri, namun pada akhirnya kekasihnya berjanji untuk menikahinya malah menikahi sepupunya. Keluarganya sendiripun berantakan karena ayahnya yang korupsi dan dihukum mati, Ibunya yang sakit-sakitan dan saudara kembarnya menggunakan obat-obat terlarang. Artinya hanya gara-gara Islam KTP saja membuat masa depannya jadi suram.
Namun dalam novel ini ada suatu dialog yang membuat pembaca bingung sebenarnya siapa yang sedang berbicara, seperti pada kutipan berikut:
Pizza, Pepsi, keripik, dan saus tomat. Kue mangkuk ta'miyah. Samosa dan chocolate éclair dari GB. Sandwich isi tuna, telur, sosis, keju putih diaduk dengan tomat, keju putih dengan zaitun. Aku mengedarkan makanan-makanan itu dalam kegelapan dan akhirnya menjatuhkan sendok-sendok plastik kedalam pot-pot bunga…….
Karena generatornya rusak membuat pestanya kacau.
“Listrik akan kembali menyala….”                                                                               
“Memangnya ada apa dengan generatormu? Kenapa kau tidak bisa memperbaikinya?”
“Ayo pergi…”
“Jangan ada yang pergi kemana-mana. Jangan nekat pergi. Samir…. Kau hanya akan merusak pestanya.”
Dialog diatas membuat pembaca bingung. Siapa yang sedang berbicara dan siapa yang akan pergi. Sampai selesai membacapun tidak mendapatkan jawabannya.


0 komentar:

Posting Komentar